
Jalan Digital Menuju Daerah Terpencil: Bagaimana Media Sosial Membentuk Ekowisata di Indonesia
Jalan Digital Menuju Daerah Terpencil: Bagaimana Media Sosial Membentuk Ekowisata di Indonesia
Indonesia memiliki ratusan budaya, tradisi, dan lanskap. Namun, ketika berbicara tentang pariwisata global, Bali masih menjadi sorotan utama. Dengan pantai, resor, dan branding yang kuat, Bali telah menjadi destinasi kelas dunia selama puluhan tahun. Lalu, bagaimana dengan daerah-daerah terpencil di Indonesia—desa di Kalimantan, pegunungan di Papua, atau komunitas pesisir di Maluku? Bagaimana mereka bisa bersaing di era digital ketika perhatian adalah segalanya?
Jawabannya ada pada komunikasi digital. Media sosial kini bukan hanya tempat hiburan, melainkan panggung paling kuat untuk mempromosikan budaya, gaya hidup, bahkan pariwisata.
Media Sosial sebagai Brosur Wisata Baru
Penelitian menunjukkan bahwa wisatawan tidak lagi hanya mengandalkan brosur resmi atau agen perjalanan. Sebaliknya, mereka lebih sering melihat postingan Instagram, vlog YouTube, dan video TikTok untuk membayangkan perjalanan berikutnya. Gretzel dan Xiang (2021) menjelaskan bahwa media sosial saat ini berfungsi sekaligus sebagai sumber informasi dan alat persuasi, menjadikannya pusat dari cara destinasi wisata ditemukan dan dipilih.
Ketika seorang influencer berbagi perjalanan pribadi—menjelajah hutan hujan atau ikut serta dalam panen tradisional—penonton merasa seolah ikut dalam perjalanan itu. Hal ini sesuai dengan teori uses and gratifications (Katz dkk., 1973), yang menjelaskan bahwa orang memilih konten yang menghibur, memberi informasi, atau menciptakan rasa keterhubungan. Hasilnya? Rasa ingin tahu tumbuh, dan calon wisatawan mulai berpikir: “Saya juga ingin ke sana.”
Influencer sebagai Duta Digital
Salah satu kekuatan terbesar bagi daerah terpencil adalah hadirnya duta digital—sering kali anak muda—yang membagikan cerita perjalanan mereka secara daring. Berbeda dengan iklan mewah, influencer membangun kepercayaan dengan menunjukkan pengalaman secara otentik, bahkan apa adanya.
Studi membuktikan bahwa keaslian inilah yang membuat pemasaran influencer begitu efektif. Audrezet, de Kerviler, dan Moulard (2020) menemukan bahwa audiens lebih merespons kreator yang terasa tulus daripada iklan yang sangat dipoles. Hal ini terkait dengan teori kredibilitas sumber (Hovland & Weiss, 1951), yang menyebutkan bahwa orang lebih mudah dipengaruhi ketika mereka mempercayai pembawa pesan.
Dalam ekowisata, keaslian ini sangat penting. Seorang pemuda lokal yang membuat vlog tentang konservasi hutan atau praktik nelayan tradisional dapat terhubung dengan audiens lebih dalam dibandingkan kampanye resmi.
Viralitas dan Efek Jaringan
Tentu saja, media sosial berjalan dengan logika viralitas. Satu video TikTok tentang air terjun tersembunyi atau tarian budaya lokal bisa menyebar sangat cepat. Ini sesuai dengan teori difusi inovasi (Rogers, 2003), yang menjelaskan bagaimana ide dan praktik baru menyebar melalui jaringan.
Namun, viralitas punya dua sisi. Gössling, Scott, dan Hall (2021) memperingatkan bahwa lonjakan wisatawan secara tiba-tiba dapat membebani komunitas lokal maupun ekosistem. Karena itu, komunikasi yang bertanggung jawab menjadi sangat penting. Influencer maupun pemerintah harus mengingatkan wisatawan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika berkunjung. Dengan cara ini, media sosial juga berfungsi sebagai alat edukasi untuk pariwisata berkelanjutan.
Kolaborasi Pemerintah untuk Pertumbuhan Berkelanjutan
Pemerintah daerah memiliki peran kunci dalam mengarahkan proses ini. Dengan bekerja sama dengan influencer, mereka dapat memastikan cerita yang disampaikan tidak hanya menonjolkan keindahan tempat, tetapi juga nilai keberlanjutan. Hallahan dkk. (2007) menyebutnya sebagai komunikasi strategis—ketika pesan disusun dengan terencana, memiliki tujuan, dan dirancang untuk membangun hubungan positif dengan para pemangku kepentingan.
Kolaborasi semacam ini memastikan bahwa ketenaran mendadak tidak merugikan masyarakat lokal, tetapi justru memperkuat kebanggaan budaya, membuka peluang ekonomi, dan menjaga lingkungan.
Ekowisata sebagai Jalan ke Depan
Inti dari pembahasan ini adalah ekowisata—bentuk perjalanan yang menjaga alam, memberi manfaat bagi masyarakat lokal, dan mendidik wisatawan. Daerah-daerah terpencil di Indonesia memiliki posisi unik untuk mengembangkan model ini. Dengan menggabungkan ekowisata dan komunikasi digital, komunitas pedesaan dapat memperoleh visibilitas secara berkelanjutan tanpa kehilangan jati diri budaya dan lingkungan mereka.
Kisah digital—melalui postingan, video, dan kampanye daring—dapat mengundang dunia untuk datang, sekaligus membimbing mereka agar berkunjung dengan bijak. Dengan begitu, permata tersembunyi Indonesia dapat bersinar di panggung global tanpa kehilangan esensinya.
Penutup
Jalan digital menuju daerah terpencil bukan sekadar soal jumlah “like”, “share”, atau “follower”. Ini tentang membangun narasi pariwisata yang bertanggung jawab, di mana media sosial menjadi jembatan antara audiens global dan komunitas lokal. Dengan influencer yang otentik, dukungan pemerintah, dan fokus pada ekowisata, daerah-daerah terpencil Indonesia diharapkan dapat tampil ke panggung dunia—secara berkelanjutan dan membanggakan.
Sumber:
Audrezet, A., de Kerviler, G., & Guidry Moulard, J. (2020). Authenticity under threat: When social media influencers need to go beyond self-presentation. Journal of Business Research, 117, 557–569. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2018.07.008
Gretzel, U., & Xiang, Z. (2021). Tourism online: A comprehensive review of research. Journal of Travel Research, 60(2), 236–254. https://doi.org/10.1177/0047287520937078
Gössling, S., Scott, D., & Hall, C. M. (2021). Pandemics, tourism and global change: A rapid assessment of COVID-19. Journal of Sustainable Tourism, 29(1), 1–20. https://doi.org/10.1080/09669582.2020.1758708
Hallahan, K., Holtzhausen, D., van Ruler, B., Vercic, D., & Sriramesh, K. (2007). Defining strategic communication. International Journal of Strategic Communication, 1(1), 3–35. https://doi.org/10.1080/15531180701285244
Hovland, C. I., & Weiss, W. (1951). The influence of source credibility on communication effectiveness. Public Opinion Quarterly, 15(4), 635–650. https://doi.org/10.1086/266350
Katz, E., Blumler, J. G., & Gurevitch, M. (1973). Uses and gratifications research. Public Opinion Quarterly, 37(4), 509–523. https://doi.org/10.1086/268109
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of innovations (5th ed.). Free Press.
Leave a comment
Your e-mail address won't be published. Required fields are mark *